Perjalanan Produksi Film di Lingkungan Pendidikan: Menghidupkan Sinema di Jember

Dunia pendidikan tidak hanya terbatas pada ruang kelas, tetapi juga mencakup berbagai aspek yang bisa menjadi inspirasi dalam berkarya, termasuk dalam produksi film. Di Jember, perjalanan para sineas dari lingkungan sekolah, terutama pesantren, menjadi bukti bahwa pendidikan dan film dapat berjalan beriringan. Melalui film, para guru tidak hanya mengajar secara akademik, tetapi juga memberikan pelajaran kehidupan melalui seni.

 

Sanad Sinema 3: Mengangkat Gatot Kaca sebagai Guru

Pada 23 Februari, Basecamp Komunitas Perfilman Jember (KOPER) menjadi tuan rumah acara Sanad Sinema 3 yang mengusung tema Gatot Kaca Dadi Guru. Tema ini mengolaborasikan karakter Gatot Kaca yang kuat seperti “otot kawat, tulang besi”, sekaligus menggambarkan sosoknya sebagai guru yang mengajarkan kebijaksanaan kepada siswa yang bergerak dalam bidang keilmuan film. Acara ini menghadirkan film bertema pendidikan serta pembicara dari kalangan guru yang aktif dalam dunia perfilman. Diskusi yang berlangsung membahas tantangan dan lika-liku seorang guru dalam mengajarkan produksi film di lingkungan sekolah.

Lika-Liku Produksi Film di Lingkungan Sekolah

Banyak tantangan yang dihadapi dalam produksi film di lingkungan sekolah. Cak Pannut, seorang guru yang juga aktif dalam dunia perfilman, menghadapi berbagai kendala seperti kesulitan mencari talenta di luar lingkungan pesantren serta keterbatasan administrasi lokasi syuting yang tidak mengeluarkan surat izin saat hari libur. Namun, semangat untuk tetap berkarya membuat tantangan ini menjadi sebuah pelajaran berharga.

Salah satu contoh film yang lahir dari lingkungan pendidikan adalah Mittata, yang mengusung konsep moderasi beragama. Film ini menyampaikan pesan bahwa agama adalah urusan pribadi antara individu dan Tuhan, serta pentingnya memahami agama tanpa ekstremisme.

Sementara itu, Mas Ibnu, dengan film Sinau Gatotkaca, menggabungkan unsur budaya dan metafora modern. Film ini dikerjakan dalam waktu lima bulan untuk penulisan naskah, satu hari syuting, dan dua hari pengeditan sebelum akhirnya dikumpulkan untuk perlombaan. Kesulitan dalam produksi terutama datang dari keterbatasan dana, namun semangat berkarya tetap terjaga.

Inspirasi dalam Berkarya

Inspirasi dalam pembuatan film sering kali datang dari realitas sosial. Mas Ibnu mengaku terinspirasi dari film Ayo Dolen karya Rosyid yang menggunakan pendekatan realisme untuk menghadirkan kehidupan nyata di layar. Pendekatan ini juga tercermin dalam film-film yang ia buat, terutama dalam Sinau Gatotkaca, yang menyimbolkan bagaimana medium di masa lalu (tokoh Gatotkaca) masih relevan dengan hiburan modern seperti Mobile Legends.

Pesantren dan Dunia Perfilman

Latar belakang sekolah pesantren tidak menjadi penghalang untuk berkarya dalam dunia perfilman. Cak Pannut menekankan bahwa pelajaran di sekolah memberikan ruang ekspresi tanpa batas. Sementara itu, Mas Ibnu menambahkan bahwa seni dan budaya bisa menjadi media dakwah, dan sekolah NURIS telah memfasilitasi hal tersebut melalui Festival Film Nuris (FFN), yang telah berjalan selama enam tahun dengan mencatatkan lebih dari 101 film.

Semakin banyak pengalaman, semakin terasa bahwa produksi film adalah proses eksperimental yang membutuhkan ketekunan. Film pendek menjadi media yang paling mudah diakses untuk belajar dan berkarya, terutama bagi para siswa yang ingin mengalami langsung proses pembuatan film.

Teknik Produksi dan Tantangan Teknis

Dalam pembuatan Sinau Gatotkaca, teknik cutting yang cepat bukan hanya pilihan artistik tetapi juga menyesuaikan dengan ketentuan perlombaan. Awalnya, durasi film seharusnya 15 menit, namun harus dipangkas menjadi 7 menit. Untuk tetap menjaga pesan utama film, teknik editing yang efektif menjadi solusi agar gagasan tetap tersampaikan dengan baik kepada audiens.

Perjalanan Berkarya dan Keresahan sebagai Guru

Cak Pannut memulai perjalanan berkaryanya pada tahun 2024, berawal dari keresahan dalam dunia pendidikan sebagai sumber inspirasi. Baginya, pengalaman dan pembelajaran dalam kehidupan menjadi alasan utama dalam berkarya. Judul Mittata sendiri berasal dari bahasa Buddhis yang berarti “persahabatan,” mencerminkan pesan dalam filmnya.

Mas Ibnu, yang telah berkarya sejak 2014, mengungkapkan bahwa setiap keresahan adalah bahan bakar untuk terus berkarya. Film Budi Pekerti, yang juga berlatar belakang pendidikan, menjadi salah satu cerminan kisah-kisah dari dunia sekolah dapat diangkat menjadi sebuah film yang bermakna.

Kesimpulan: Sinema dan Pendidikan Berjalan Bersama

Komunitas film di Jember terus berkembang, menciptakan ruang dan rumah bagi para sineas muda untuk berkarya. Dunia pendidikan bukanlah ruang yang sempit, melainkan tempat di mana ekspresi dapat dituangkan melalui berbagai medium, termasuk film. Dengan semangat yang kuat dan dedikasi tinggi, para guru dan siswa di Jember membuktikan bahwa sinema bisa menjadi sarana pembelajaran sekaligus ekspresi kreatif. Jangan pernah menyerah pada sinema, karena film adalah jendela bagi kisah-kisah yang perlu diceritakan.