[:en]Membangun Eksplorasi Visual Melalu Sinematografi[:]

[:en]Bincang di Rumah Aja “Membangun Eksplorasi Visual Melalu Sinematografi” bersama Sinematografer Umar Setyadi
Selama pandemi ini kita dianjurkan untuk mengurangi kegiatan diluar rumah dan bertemu dengan banyak orang. Dalam hal ini Himafisi mengadakan acara bincang-bincang dan sharing ilmu dengan beberapa pemateri melalu live Instagram.

Pada tgl 23 Mei 2020 bincang di rumah aja mengangkat topik Sinematografi “Membangun Eksplorasi Visual Melalui Sinematografi” dengan Pemateri Umar Setyadi yang merupakan Sinematografer dan Lintang Fairus mahasiswa PSTF Universitas Jember sebagai moderator.

Dalam kegiatan bincang di rumah aja, pengurus Himafisi telah membagikan postingan melaui instagram untuk menampung pertanyaan-pertanyaan yang ingin ditanyakan oleh teman-teman kepada mas Umar. Saat live, mas Umar akan menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan oleh teman-teman.

Berikut adalah pertanyaan dan jawaban yang mas Umar dapat dan sampaikan. Pertanyaan pertama adalah bagaimana cara sinematografi mendukung dramatologi? Mas Umar menjawab Poin utama dalam produksi film itu adanya skenario. Ketika kita mendapat skenario, sebagai sinematografer harus membacanya beberapa kali dari awal sampai akhir. Membaca pertama untuk memahami cerita, apakah cerita itu menarik atau tidak.

Membaca kedua kalinya untuk membedah sedikit-sedikit. Karena kebanyakan skenario itu ada 3 babak. Yaitu Opening (pengalaman karakter), konflik, dan penyelesaian. Kita coba detail kan lagi scene by scene, yang termasuk scene pengenalan karakter scene berapa dan berapa. Dari situ kita mulai sudah tau urutan di dramatologi itu.

Di produksi film ada sebutan golden scene. Golden scene yaitu scene unggulan atau bisa juga scene mewah, yang satu atau dua scenenya itu menghabiskan biaya yang besar. Atau juga scene yang dramatik. Scene yang Cuma dilakukan oleh dua pemain tapi dramatiknya tinggi. Contoh pada film Habibie dan Ainun saat adegan menjelang kematian Ibu Ainun di kamar rumah sakit.

Untuk mempersiapkan itu Sinematografer banyak melakukan diskusi dengan sutradara dan kadang juga dengan pemain, apakah perlu untuk penekanan misalnya perlu ada movement kamera menuju air mata menetes. Hal ini menjadi bagian dari bagaimana sinematografer mendukung dramatologi. Bisa jadi dari penekanan kamera itu menjadi menambah nilai dramatiknya.

Pertanyaan kedua, bagaimana cara mas Umar mengolah rasa dalam sinematografi? Menurut mas Umar, dalam studi kita sebenarnya tidak mendapatkan materi tentang rasa. Karena dalam studi kita diberikan perihal teori teeknis, tapi sebenarnya ada metode-metode untuk kita bjsa mendapatkan rasa itu. Salah satunya banyak membaca refrensi atau buku, banyak melihat visual yang berbeda, bisa jadi nonton film dari berbagai genre dan negara. Karena tiap negara berbeda-beda.

Kita nonton film Korea dengan ciri khasnya seperti itu, kita nonton film Iran dengan ciri khas yang seperti itu, kita nonton film Indonesia ciri khasnya seperti itu, kita nonton film Polandia lain lagi, kita nonton film Prancis lain lagi, kita nonton film Itali lain lagi, jadi itu bagian dari kita menumpuk atau mengisi satu persatu dan sebenarnya menganalisis sendiri. Sebenarnya untuk soal rasa itu hubungannya dengan psikologi, ada perihal mata kuliah itu di S1 atau S2. Perihal analisa psikologi terkait rasa di sinematografi bagian salah satunya itu tadi, bahwa dari banyak melihat visual akhirnya kita punya catatan-catatan yang masuk ke pemikiran. Tak bisa dipungkiri bahwa karya kita itu berdasarkan karya orang lain, itu lahiriyah, itu manusiawi dari zaman dulu tidak ada yg original bahwa terbentuknya aliran seperti ini melalui mempelajari karya-karya sebelumnya.

Ketika ada waktu, biasanya mas Umar membaca skenario misal Yowis Ben, Yowis Ben itu memiliki banyak cerita tentang anak muda yang energik, anak band yang ingin sukses segala macam dengan segala persoalan. Salah satunya mas Umar coba akrab in teman-teman anak band, mencoba memasuki kehidupan anak band, terus juga Yowis Ben lebih banyak dimana kisahnya, Malang, Jawa Timur, dan sekitarnya. Seminggu sebelum shooting, mencoba jalan-jalan melihat suasana, bangunan-bangunan disana. Dengan seperti itu dapat membantu sinematografer untuk membentuk rasa di konsepnya.

Pertanyaan ketiga, mengapa warna still foto harus menyesuaikan pada warna visual film? Mas Umar menuturkan Still foto di era sekarang lebih kepada untuk media promosi, jadi karya foto still akan muncul lebih dahulu daripada filmnya. Paling tidak tujuannya adalah supaya untuk diawal itu memberi informasi ke calon penonton kita bahwa nanti konsep dan warna filmnya kurang lebih seperti itu.Di usahakan segala tone dan adegannya itu sama. Tapi ada juga promosi yang memunculkan foto karakter, bukan foto adegan.

Menuju akhir sesi bincang dirumah aja mas Umar menyinggung tentang arsip. Beliau berkata bahwa pengarsipan sangat penting, untuk saat ini memang belum terasa manfaatnya, tetapi 3-4 tahun lagi akan terasa manfaatnya. Behind the scene shooting mulai dari pra produksi, sampai saat shooting bisa jadi bahan studi untuk orang lain, atau kita flashback lagi untuk belajar. Jadi pengarsipan memang sangat penting sekali. Beliau juga berkata bahwa beliau senang bisa berbagi ilmu dengan kita semua, dan berharap dapat berbagi kembali dilain kesempatan.[:]