Pergelaran Film Tugas Akhir “Pulasara” Karya Lailatul Mukjizah, Sebuah Kebanggaan yang Diproduksi oleh Skandium Project Bertemu Penontonnya

Jember, 12 Juli 2025 — Suasana Aula Sutan Takdir Alisjahbana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember, terasa seru dan penuh antusias pada hari Sabtu lalu. Sebuah karya film tugas akhir berjudul Pulasara, karya dari mahasiswi Program Studi Televisi dan Film angkatan 2021, Lailatul Mukjizah, akhirnya diputar perdana di hadapan penonton. Film berdurasi pendek ini menjadi karya reflektif yang menyentuh sisi spiritual dan emosional penontonnya.

Film Pulasara mengangkat tema kematian, namun dari sudut pandang yang tidak biasa. Cerita berpusat pada seorang bapak yang telah meninggal dunia dan hanya bisa menyaksikan proses “pemulasaraan” jenazahnya sendiri. Alih-alih mendapati keluarganya larut dalam duka, ia justru melihat anak-anaknya terlibat dalam perdebatan. Sebagai “arwah”, ia tidak bisa berbicara atau campur tangan — hanya menyaksikan. Film ini menyoroti bagaimana kematian yang seharusnya menjadi momen perenungan dan pengikhlasan, justru bisa berubah menjadi ruang pertikaian jika tidak disertai dengan kesadaran yang utuh dalam keluarga.

Makna kata “pulasara” menjadi penting dalam konteks film ini. Diambil dari bahasa Jawa yang diserap dari bahasa Sanskerta, pulasara berarti merawat atau mengurus, dan dalam konteks kematian merujuk pada proses pemeliharaan jenazah: mulai dari memandikan, mengkafani, hingga memakamkan. Proses inilah yang dijadikan bingkai naratif dalam film, tidak hanya sebagai rutinitas religius, tetapi sebagai momen sakral yang mencerminkan hubungan antara yang hidup dan yang telah tiada.

Dalam sesi diskusi setelah pemutaran, Lailatul Mukjizah menjelaskan bahwa ide film ini lahir dari pertanyaan-pertanyaan personal yang menjadi keresahannya.

“Bagaimana kalau kita bisa menyaksikan proses setelah kita meninggal? Apa yang kita lihat? Bagaimana keluarga kita memperlakukan jenazah kita? Dari situlah saya mulai menulis naskah Pulasara,” ungkapnya.

Mungkin ini menjadi pertanyaan beberapa orang juga sehingga terciptalah sebuah karya audio visual berjudul pulasara yang tersalurkan dari imajinasi sutradara. Film ini tidak bertujuan untuk menggurui, tetapi lebih sebagai ruang refleksi bersama, terutama bagi generasi muda yang mungkin jarang atau enggan membicarakan soal kematian. 

Pemutaran film ini mendapat sambutan hangat dari para penonton yang hadir, termasuk rekan-rekan mahasiswa, keluarga, bahkan dosen yang hadir, dengan forum apresiasi dan diskusi terbuka yang dipandu oleh panitia. Beberapa penonton tersentuh dengan alur cerita dan cara film ini menyampaikan makna duka dan perpisahan tanpa perlu dialog berlebihan.

Salah satu apresiasi juga datang dari Koordinator Program Studi Televisi dan Film, Bapak Muhammad Zamroni, S.Sn., M.Sn. Dalam tuturnya, beliau mengapresiasi keberanian Lailatul dalam mengangkat tema yang kontemplatif, serta kemampuannya membangun narasi visual yang kuat. “Membuat saya merasa kaku terdiam tidak bisa melakukan apa-apa ketika masuk ke dalam cerita dan menjadi karakter bapak”, ujar Bapak Zamroni. Beliau juga mengapresiasi kerja keras Lailatul Mukjizah dalam memproduksi film ini sehingga bisa lulus tepat waktu.

Sebagai bentuk interaksi yang lebih menyenangkan, panitia juga menyelenggarakan sesi kuis kecil-kecilan bagi penonton. Pertanyaan-pertanyaan seputar isi film diajukan, dan penonton yang menjawab dengan benar mendapatkan hadiah. Hadiah pamungkas yang paling ditunggu adalah merchandise berupa kaos film Pulasara, yang menjadi simbol kenang-kenangan atas pemutaran hari itu.

Acara ditutup dengan sesi foto bersama seluruh tim produksi, dosen, serta penonton yang hadir. Suasana penuh kehangatan menyelimuti ruangan, menandakan bahwa film Pulasara tidak hanya berhasil sebagai tugas akademik, tetapi juga sebagai karya yang meninggalkan kesan mendalam.

Pementasan karya seperti ini membuktikan bahwa perfilman mahasiswa memiliki potensi besar untuk menjadi medium penyampaian gagasan yang kuat dan relevan. Pulasara telah membuka ruang diskusi yang jarang tersentuh — tentang bagaimana manusia memaknai kematian, hubungan keluarga, dan proses mengikhlaskan. Karya ini menjadi simbol bahwa film bukan sekadar hiburan, tetapi juga cermin bagi kehidupan. Lailatul Mukjizah, melalui imajinasinya dalam Pulasara, telah menyuarakan hal-hal yang mungkin diam dalam benak banyak orang — dan ia melakukannya dengan tenang, jujur, dan penuh makna. Semoga makin banyak lagi karya mewah dan berkualitas lahir dari imajinasi mahasiswa maupun mahasiswi Program Studi Televisi dan Film lainnya. Sampai bertemu di pergelaran karya selanjutnya!

Salam HIMAFISI: Kreatif, Muda, dan Energik!